Beranda | Artikel
Keutamaan dan Keistimewaan Akal
Selasa, 21 Maret 2017

Khutbah Pertama:

الحمدُ لله، الحمدُ لله حمدًا كثيرًا طيبًا مُبارَكًا فيه كما يُحبُّ ربُّنا ويرضَى، وأشهدُ أن لا إله إلا الله وحدَه لا شريكَ له عظيمٌ في ربوبيَّته وألوهيَّته وأسمائِه وصفاتِه، حكيمٌ في مقاديرِه وأحكامِه، وأشهدُ أن محمدًا عبدُه ورسولُه ابتُلِيَ بالسرَّاء فشَكَر، وبالضرَّاء فصَبَر، صلَّى الله وسلَّم وبارَك عليه، وعلى آله وأصحابِه، والتابِعِين لهم بإحسانٍ إلى يومِ لِقائِه.

أما بعدُ .. معاشر المؤمنين:

فاتَّقُوا الله حقَّ التقوَى، واستمسِكُوا من الإسلام بالعُروة الوُثقَى، ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَآمِنُوا بِرَسُولِهِ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيَجْعَلْ لَكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾ (الحديد: 28).

Ibadallah,

Akal adalah nikmat paling agung pengaruhnya setelah nikmat iman. Semua bukti dan fakta menjadi saksi, bahwa wahyu Allah Azza wa Jalla dan akal manusia adalah selaras dan serasi.

Banyak nash syar’i yang menunjukkan keharusan menggunakan akal untuk bertafakkur, dalam rangka untuk mengenal Allah Azza wa Jalla dan mentauhidkan-Nya dengan menunaikan konsekuensinya.

Tidak akan sempurna agama seseorang sampai akalnya sempurna. Akal tanpa agama akan sesat, dan beragama tanpa akal adalah tangga menuju pemahaman yang salah dan perilaku buruk. Dan seringkali itu mencoreng wajah Islam yang murni!

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah bila diberitahukan tentang seseorang yang shalih, ia akan bertanya, “Bagaimana akalnya? Agama seorang hamba tidak akan sempurna sama sekali hingga akalnya sempurna.” Apa yang diucapkan al-Hasan al-Bashri rahimahullah bisa kita kembalikan pada firman Allah Azza wa Jalla :

وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ

Dan Allah menimpakan adzab kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. (Yunus /10:100)

Akal merupakan salah satu karunia di antara karunia Allah yang paling agung. Seseorang yang punya akal sehat akan bisa mengambil manfaat dari wejangan dan petunjuk al-Quran. Allah Azza wa Jalla berfirman:

أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ

Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (al-Hajj /22:46)

Juga firman-Nya:

إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.(Qaf /50:37)

Hati di sini maksudnya adalah akal.

Luqman berkata kepada anaknya, “Wahai anakku! Ketahuilah, bahwa puncak dari kemuliaan dan kejayaan di dunia dan akhirat adalah bagusnya akal. Sesungguhnya bila akal seorang hamba itu bagus, maka itu bisa menutupi aib dan celanya, serta bisa memperbaiki berbagai keburukannya.”

Akal yang dipuji dalam syariat, adalah akal yang memahami tentang Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Akal yang membentengi pemiliknya dari segala yang hina serta mendorongnya untuk taat dan berperilaku mulia. Inilah tipe dan corak akal seorang Mukmin. Sedangkan kaum kafir, mereka tidak memahami hakikat akal yang dipuji syariat. Barulah di akhirat mereka akan sadar –namun tiada guna-; sehingga mereka pun mengatakan seperti dalam firman-Nya:

وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ

Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Al-Mulk /67:10)

Seorang alim Mekkah, Atha’ bin Rabah rahimahullah ditanya tentang karunia Allah yang paling utama bagi hamba-Nya, ia menjawab, “Memahami tentang Allah Azza wa Jalla

Memahami tentang Allah Azza wa Jalla, memahami firman-Nya, dan memahami maksud yang diinginkan oleh Allah Azza wa Jalla. Itulah gerbang terbesar kebaikan dunia dan akhirat. Saat itu berarti ia telah mengerti apa maksud tujuan diciptakannya akal.

Sedangkan akal yang berobsesi dunia akan menjadi sumber petaka yang melahirkan problematika dalam semua bidang kehidupan. Ia adalah penyebab utama yang menjadikan  banyak orang enggan turut serta berjuang untuk agama ini. Dan akal yang tidak digunakan semestinya, akan menyeret manusia ke dalam siksa neraka, sebagaimana yang difirmankan Allah Azza wa Jalla :

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). (Al-A’raf /7:179).

Dalam riwayat yang sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti dalam riwayat Ahmad, juga al-Bukhari dan Muslim, Beliau bersabda:

أَنَّهُ  يُقَالَ لِلرَّجُلِ مَا أَجْلَدَهُ مَا أَظْرَفَهُ مَا أَعْقَلَهُ وَمَا فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ

Dikatakan kepada seseorang: betapa kuatnya dia, betapa cerdiknya dia, betapa pandai akalnya, padahal di dalam hatinya tidak ada sedikitpun iman walau sebesar biji sawi

Akal bisa bekerja dengan benar bila berpedoman dengan cahaya wahyu ilahi; dan juga dari pengalaman dan berbagai peristiwa sepanjang sejarah.

Akal yang mengambil petunjuk dari cahaya Allah Azza wa Jalla tercermin pada banyak perilaku. Ia akan mendahulukan perintah Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dibanding apapun juga. Ia menghindari kecenderungan nafsunya. Ia selalu meminta keselamatan. Namun bila musibah menimpa, ia pun ridha dan bersabar.

Ia tahu bahwa petaka tergantung dari ucapan. Karena itulah ia selalu berusaha untuk berkata baik, tidak dusta, menggunjing atau mengadu domba.

Ia tidak menyuruh kebaikan kepada orang sedangkan ia melupakan dirinya. Ia tidak berbicara sesuatu yang tidak bermanfaat.

بارَك الله لي ولكم في القرآنِ العظيم، ونفعَني وإياكم بما فيه من الآياتِ والذكرِ الحكيم، أقولُ قولي هذا، وأستغفِرُ اللهَ لي ولكم من كلَّ ذنبٍ، فاستغفِروه؛ إنه هو الغفورُ الرحيم.

Khutbah Kedua:

الحمدُ لله رب العالمين، إلهِ الأولين والآخرين، وقيُّوم السماوات والأرَضين، وأشهدُ أن لا إله إلا الله وحدَه لا شريكَ له الملِكُ الحقُّ المُبين، وأشهدُ أن محمدًا عبدُه ورسولُه الصادقُ الأمين، صلَّى الله عليه وعلى آله وأصحابِه والتابعين، ومن تبِعَهم بإحسانٍ إلى يوم الدين.

أما بعدُ .. معاشر المُؤمنين:

Seorang yang berakal tahu hakikat dunia yang hanya kesenangan yang pasti sirna sementara akhirat kekal. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَالدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Dan kampung akhirat itu lebih bagi mereka yang bertakwa. Maka apakah kamu sekalian tidak mengerti? (Al-A’raf /7:169)

Seorang berakal akan berusaha menyatukan kalimat Muslimin dan mencampakkan perpecahan dan permusuhan.

Perhiasan orang berakal adalah tawadhu’. Bila akal seseorang bagus, maka ia tidak hasad; Ia tidak merendahkan orang lain, terutama para Ulama.

Orang yang berakal, berbakti kepada kedua orang tua. Ia pun sangat perhatian terhadap nasib kaum Muslimin.

Pendek kata, ia sangat tanggap terhadap setiap kebaikan. Ia selalu bertaubat dari setiap kesilapan. Sungguh, betapa nikmat dan manis hidupnya! Itulah surga yang disegerakan di dunia ini.

Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk orang-orang berakal yang senantiasa menggunakan akalnya sesuai dengan panduan cahaya wahyu ilahi.

ثم اعلَمُوا – معاشر المؤمنين – أن الله أمرَكم بأمرٍ كريمٍ ابتَدَأ فيه بنفسه، فقال – عزَّ مِن قائلٍ -: ﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾ [الأحزاب: 56].

اللهم صلِّ على محمدٍ وعلى آل محمدٍ، كما صلَّيتَ على إبراهيم وعلى آل إبراهيم، إنك حميدٌ مجيد، وبارِك اللهم على محمدٍ وعلى آل محمدٍ، كما بارَكتَ على إبراهيمَ وعلى آل إبراهيم، إنك حميدٌ مجيد.

وارضَ اللهم عن الخلفاءِ الراشِدين: أبي بكرٍ، وعُمر، وعُثمان، وعليٍّ، وعن سائر الصحابةِ والتابعين، ومن تبِعَهم بإحسانٍ إلى يوم الدين، وعنَّا معهم بعفوِك وكرمِك وجُودِك ومِنَّتِك يا أرحمَ الراحمين.

اللهم أعِزَّ الإسلامَ والمسلمين، اللهم أعِزَّ الإسلامَ والمسلمين، وأذِلَّ الشركَ والمُشرِكين، واحْمِ حوزَةَ الدين، واجعَل هذا البلدَ آمنًا مُطمئنًّا رخاءً سخاءً، وسائرَ بلادِ المُسلمين.

اللهم أصلِح أحوالَ إخوانِنا المسلمين في سُوريا، وفي العراق، واليمَن، وفي فلسطين، وأراكان، وفي كلِّ مكانٍ يا ذا الجلال والإكرام، اللهم فرِّج همَّهم، اللهم فرِّج همَّهم، ونفِّس كربَهم، اللهم احقِن دماءَهم، واحفَظ أعراضَهم، واشفِ مرضاهم، وتقبَّل شُهداءَهم.

اللهم عليك بعدوِّك وعدوِّهم يا قويُّ يا عزيز، اللهم شتِّت شملَه، وفرِّ جمعَه، واجعَل دائِرةَ السَّوء عليه بقوَّتِك وجبَرُوتِك يا قويُّ يا عزيز، يا ذا الجلال والإكرام.

اللهم إنا نسألُك بفضلِك ومنَّتِك وجُودِك وكرمِك أن تحفَظَ بلادَ المُسلمين من كل سُوءٍ ومكرُوه، اللهم احفَظ بلادَ الحرمَين، اللهم احفَظها بحفظِك، واكلأها برعايتِك وعنايتِك يا أرحم الراحمين، اللهم أدِم أمنَها ورخاءَها واستِقرارَها، اللهم زِدها خيرًا ونماءً وبركةً، برحمتِك وفضلِك يا أرحم الراحمين.

اللهم من أرادَ بلادَ الحرمين بسُوءٍ فاجعَل تدبيرَه تدميرًا عليه يا قويُّ يا عزيزُ، يا ذا الجلالِ والإكرام.

اللهم وفِّق خادمَ الحرمين لما تُحبُّه وترضَاه، واجزِه عن الإسلام والمُسلمين خيرَ الجزاءِ، اللهم اجمَع به كلمةَ المُسلمين يا رب العالمين، اللهم وفِّق جميعَ وُلاةِ أمور المسلمين لما تحبُّه وترضَاه.

اللهم انصُر جنودَنا المُرابِطين على حُدودِ بلادِنا، اللهم أيِّدهم بتأيِيدك، واحفَظهم بحفظِك، اللهم سدِّد رميَهم، اللهم سدِّد رميَهم، وثبِّت أقدامَهم، وقوِّ عزائِمَهم، اللهم كُن لهم مُعينًا ونصيرًا، اللهم كُن لهم مُعينًا ونصيرًا برحمتِك يا أرحم الراحمين.

اللهم لا تدَع لنا ذنبًا إلا غفرتَه، ولا مريضًا إلا شفيتَه، ولا مُبتلًى إلا عافيتَه، ولا ضالاًّ إلا هديتَه، ولا ميتًا من أمواتِنا إلا رحِمتَه برحمتِك يا أراحم الراحمين.

اللهم اغفِر للمُسلمين والمُسلِمات، والمُؤمنين والمُؤمِنات، الأحياء منهم والأموات برحمتِك يا أرحم الراحمين.

اللهم اسقِنا الغيثَ ولا تجعَلنا من القانطين، اللهم اسقِنا الغيثَ ولا تجعَلنا من القانطين، اللهم اسقِنا الغيثَ ولا تجعَلنا من القانطين، اللهم أغِثنا، اللهم أغِثنا، اللهم أغِثنا، برحمتِك وفضلِك وجُودِك وكرمِك ومنَّتك يا أرحم الراحمين.

سبحان ربِّك ربِّ العزَّة عما يصِفُون، وسلامٌ على المُرسَلين، والحمدُ لله رب العالمين.

(Diadaptasi dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIX/1437H/2016M).

Print Friendly, PDF & Email

Artikel asli: https://khotbahjumat.com/4576-keutamaan-dan-keistimewaan-akal.html